Banyak
sesi dari penulis terkenal yang sayangnya saya tidak kenal.Namanya festival
internasional, penulisnya pasti dari dunia internasional, mungkin karena itu
saya tidak kenal. Maklum selama beberapa bulan terakhir ini di Hong Kong saya
kebanyakan main dan wisata kuliner cari masakan Indonesia.
Setelah
browsing mencari sesi yang seru di festival sastra ini, dan setelah lumayan lama
masa vakum (Bukannya “no mood” tapi “tar sok, tar sok” alias ntar besok dan waktu
terus berjalan), untuk membangkitkan kembali semangat menulis, saya datanglah ke
acara ini.
Acara pada
Minggu, 3 November 2013 ini menghadirkan tiga penulis migran Indonesia yang
bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Hong Kong. Mereka tampil
membacakan karya mereka di Mcaulay Studio di Hong Kong Art Center.
Devi
Novianti dari Equal Opportunity Commission sebagai moderator membuka acara
dengan memperkenalkan Yuni Sze dari Majalah Indonesia Apakabar. Yuni bercerita tentang
FLP sebagai wadah para penulis migran Indonesia memuaskan bakat menulis mereka.
Didirikan tahun 2004, selain di Indonesia, FLP mempunyai cabang di Malaysia,
Saudi Arabia dan Hong Kong, dll. Tiga diantara anggotanya di Hong Kong, Susie,
Yulia dan Pandan yang bekerja sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) bercerita
mengenai perjalanan mereka yang jauh dari rumah dan keluarga, kesendirian yang
mereka hadapi, pengalaman baru di tempat yang baru dan berbagai permasalahan
yang menghampiri.
Kiri ke kanan: Pandan, Susie, Yulia |
Yulia Jafar Purwanto sudah menerbitkan ceritanya di koran/tabloid Indonesia, antara lain Tabloid Nyata, Radar Bromo, juga koran Indonesia di Hong Kong yang antara lain Berita Indonesia dan Apakabar.
Ceritanya
berjudul “Selendang Merah” mengenai seorang BMI yang suka menari tarian
tradisional. Ia juga bercita-cita melestarikan budaya ini di negeri orang.
Sayangnya, keinginan ini tidak didukung oleh sang majikan yang bukan saja tidak
menyukai kegiatan tersebut tetapi juga memotong haknya dengan tidak memberikan
hari libur.
Bertolak
belakang dengan cerita Yulia, dalam keseharian kerjanya, majikannya mendukung
bakat menulisnya.
Artikel
Pandan Arum beberapa kali telah
diterbitkan di koran berbahasa Indonesia di Hong Kong, misanya Suara, Apakabar,
Iqro, Berita Indonesia. Bukunya bersama anggota FLP yang telah terbit antara
lain Penjajah di Rumahku (kumpulan cerita pendek) dan Senandung Mimpi Hawa (kumpulan
puisi).
Ia
mendapat ide ketika membersihkan lantai dan akhirnya jadi satu cerita yang
diberi judul “Tuntutan Pelacur”. Seperti judulnya, kisah ini mengenai hidup
seorang pelacur, mengapa ia menjalaninya dan pengalamannya dilecehkan oleh pria
bahkan ketika ia bekerja bukan sebagai pelacur tetapi sebagai pembantu rumah
tangga.
Ketiga buruh migran ini bekerja untuk keluarga-keluarga di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga penuh waktu, enam hari seminggu dan satu hari libur. Walaupun sibuk kerja, mereka menyisihkan waktu untuk hobby menulis. Salah satunya berkata ia menulis di tengah malam setelah shalat malam, bahkan dulu dia menulis di lantai dapur. Satu orang lainnya menulis di siang hari ketika anak-anak majikannya sekolah.
Ide
menulis datang dari mana saja. Pandan mendapat ide menulis mengenai pelacur
ketika ia membersihkan lantai. Menurutnya, ada kesamaan antara pelacur dan
pembantu rumah tangga. Keduanya sering dilecehkan oleh majikan. Tetapi, hal itu
tergantung pada orang sekitar. Dalam cerita hidupnya, ia dikelilingi oleh
keluarga yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga diluar negeri, dan bisa jadi
ini yang mendukungnya memilih pekerjaan ini.
Sam
Aryadi, Wakil Konsul Consul (Informasi, Budaya dan Protokoler) Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong yang telah bekerja di Hong Kong selama
tujuh tahun, mengatakan bahwa pemerintah menyadari potensi/bakat yang dimiliki
oleh buruh migran ini. Dalam acara Diaspora Indonesia bulan Agustus lalu,
sebagian dari mereka diperkenalkan lebih luas lagi ke masyarakat Indonesia.
Salah satu tujuannya adalah menyoroti bakat kepandaian mereka dan semoga dalam jangka
panjangnya,pemerintah mendapatkan bantuan lebih luas lagi dari berbagai pihak terkait
jika diperlukan.
Masalah
yang dihadapi buruh migran misalnya pembayaran upah dibawah minimum dan
pelanggaran hak misalnya tidak diberikan hari libur masih terjadi. Dalam
beberapa kasus malah lebih buruk lagi. Shelter (tempat bernaung) dan Konsulat
adalah rumah bagi buruh migran yang memerlukan pertolongan.
Panel Diskusi |
Peluk aku
Katakan, betapa engkau sangat mencintaiku
Dengan lisanmu, dengan keberadaanmu buatku setiap waktu
Jangan lagi salah memberiYang aku minta hanya dirimu; ibu!
Bukan harta, bukan mainan mewah, bukan sekolah…bukan!
Ketika engkau mengabaikanku dengan dalih demi bayar biaya hidup……
#terharu_ngak_sih?
Puisi diatas adalah hasil karya Susie berjudul “Menanti Ibu” dibacakan di akhir acara. Hanyalah sebagian dari puisi tersebut, tapi sangat jelas menuturkan perasaan anak-anak Buruh Migran Indonesia yang ditinggalkan oleh ibu mereka bekerja jauh diluar negeri.
---
Yang jelas saya kagum dan salut atas prestasi rekan2 BMI di Hong Kong.
Speechless,
effortless dan malu ke diri sendiri kenapa males2an nulis. Everything happens for
a reason. Sekarang saya tahu kenapa saya terpilih datang ke acara ini, supaya sadar
dan semangat nulis lagi. Ayo!
----
Keterangan
lebih lanjut mengenai “Hong Kong Literary Festival”, silakan klik http://www.festival.org.hk
No comments:
Post a Comment